“Namaku Diah... I like dancing. Bagiku hidup adalah tarian. Menari adalah bahasa ceriaku, bahasa syukurku, bahasa hidupku. Aku menari saat matahari terbit dan tenggelam. Aku menari di bawah siraman hujan. Saat duka dan gundah, aku menari untuk melupakan sedihku. Aku bahkan bisa berdoa sambil menari..whahaha lucu ya!!!! Tapi bagiku berdoa pada Tuhan tidak harus selalu resmi. Karena Beliau yang menciptakanku, Beliau pasti lebih mengerti aku daripada siapapun, bukan begitu ????? Aku sudah menari bahkan sebelum kakiku belajar menapak (ceiilLe...).Dengan menari aku belajar percaya diri, belajar keindahan dan belajar mengagumi. But,, aku bukan master tari.. Hie.. Aku hanya menari semauku, sesuai irama hatiku. Aku belajar menari dari ibuku, ayahku, guruku dan teman-temanku. Tapi aku lebih suka menarikan tarianku sendiri. Tanpa batasan, tanpa aturan. Dan ini adalah salah satu tarian hidupku, yang hingga kini tak pernah bisa hilang dari benakku.”
Hari itu…. Di suatu pagi ketika aku SD. Seperti biasa aku berjalan menyusuri koridor sekolahku, atau tepatnya melompat-lompat. Dulu aku jarang berjalan santai, aku lebih suka melompat-lompat seperti kelinci. Kata teman-temanku, mungkin aku dulunya kelinci..abiz aku suka makan wortel dan katanya gigiku mirip gigi kelinci,, tapi aku gag tinggal di gang kelinci koug,, hehehe…. Hari itu hari piketku, makanya aku datang lebih pagi saat yang lain belum datang, terkecuali mereka yang juga kebagian piket mungkin. Waktu itu aku sedang berebut sapu saat makhluk aneh itu lewat. Sesosok pria yang selalu membuat jantungku melompat. Detik itu pun aku seperti kehilangan energi. Hanya bisa menahan nafas hingga dadaku terasa sesak. Ini bukan pertemuan pertama kita. Aku bahkan sudah mengenalnya sejak pertama kali masuk SD. Awalnya aku menganggap dia sebagai kakak. Karena dia selalu punya berbagai aturan untukku.
“Jalan santai saja jangan melompat-lompat seperti itu! Nanti kakimu keseleo!” katamu setiap kali aku melintas di depanmu.
“Jangan hujan-hujanan! Nanti kamu flu!” omelmu saat aku dengan gembira membelah hujan lengkap dengan seragam sekolah yang ku kenakan.
“Hah! Kamu pasti lupa lagi menyisir rambutmu! Cantikmu jadi berkurang!” yang ini juga omelan khasmu…hampir setiap hari.
Dulu aku sebel banget dengan semua aturan yang kau buat untukku. “BawelLLLLLL!” teriakku selalu setiap aku tidak suka dengan aturanmu. Tapi lama-lama aku jadi terbiasa, dan pasti merasa kehilangan kalau sehari tidak mendengar omelanmu. Yaaapzz! Lama-lama aku jadi suka, sukaaaa banget sama kamu. Dan aku malu, karena bukankah aku selalu menganggapmu sebagai kakak. Aku tidak pernah berani menunjukkan bahwa aku sudah menyayangimu bukan lagi sebagai kakak, tapi sebagai seorang gadis. Aku tersiksa jika di dekatmu. Apalagi ketika kita dipasangkan sebagai pasangan saat menari. Aku hampir kehilangan seluruh kemampuan menari yang aku miliki. Dan kau bingung kenapa aku bisa menari seburuk itu. Iya kan,, Ah… seandainya kau tahu…
Aku masih menari di Sampai kelas 6… saat itu kita tidak sedekat dulu. Mungkin karena kita tidak sekelas lagi… Atau karena aku yang menjaga jarak… Tapi kau masih selalu memberikan perhatianmu untukku. Seperti biasa.. layaknya seorang kakak. Dan aku semakin tersiksa olehmu...
Suatu hari seusai sekolah, tiba-tiba kamu menampakkan dirimu dihadapanku. “Anak manis,, wah… kamu susah sekali ditemui. Kamu tidak sedang memusuhiku kan?” katamu dengan begitu manis. Aku menggernyit lalu menggeleng. Kamu tersenyum dan mulai mengacak-acak rambutku lagi. Aku melotot, meski tak yakin seperti apa ekspresi mukaku waktu itu, entah marah entah senang?!
Sambil mencubit pipiku, kau katakan ini.. “Dengar anak mani..ii..is! Beberapa bulan lagi kita akan lulus sekolah. Kamu masih tetap akan bersekolah di Gianyar kan?” tanyamu.
Aku menggeleng.
“Hmmm… iya,, kau akan melanjutkan sekolahmu ke Denpasar.. Kali ini aku tidak bisa menemanimu. Karna kau pergi,, aku terpaksa mengikuti keinginan orang tua ku, aku juga akan pergi jauh. Mungkin beberapa tahun. Selama itu aku mungkin tidak bisa menemuimu,” ujarmu.
“Memang sejauh apa? Kalau sekolah di Bandung atau Jogja, kakak kan masih bisa main ke Bali,, iya kan..,” protesku.
“Sayangnya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu tahu kan, ayah ku ditugaskan ke Jepang, karena kau akan pergi dari sisni aku tak kan sanggup kesepian di sini, dan aku setuju untuk ikut orang tua ku,” katamu.
Huh... sebenarnya aku tidak perlu menangis, tapi entah kenapa mataku cepat sekali basah.
“Jangan menangis anak manis, aku kan tidak pergi terlalu lama. Hanya beberapa waktu saja. Kalau kamu habiskan waktu dengan membaca atau menari, maka tidak akan terasa lama. Nanti aku akan belikan oleh-oleh special buatmu. Kamu mau apa? Mau ku bawakan bunga sakura.. atau Cincin?” tanyamu.
Aku terkesiap. Cincin? Dan kamu pun tertawa, kembali merusak sisiran rambutku.
“Kenapa kaget begitu? Kamu tidak akan menolakku memakaikan cincin di jarimu yang indah itu bukan, anak manis? Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi aku akan belajar keras, supaya jika aku pulang nanti, kamu akan bangga padaku!”
Sungguh aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Padahal aku ingin…ingiiiin sekali berkata bahwa aku sangat menyayangimu…
Malam ini… tepat 3 tahun kau pergi, aku tiba-tiba ingat padamu…
Aku juga ingat malam itu... Aku melihatmu di tengah hujan, melambaikan tangan padaku. Dan aku sangat gembira melihatmu. Aku berlari mendekatimu. Tuhan, tapi kenapa aku tidak bisa meraihmu.. Sepertinya kamu semakin jauh… padahal aku sudah berlari sekuat tenagaku. Lalu tiba-tiba kau menghilang dan aku menjerit putus asa.
Aku tersadar oleh teriakanku. Sungguh ini bukan mimpi. Aku benar-benar melihatmu tadi. Aku menangis sepanjang malam… meski aku tidak tahu kenapa harus menangis…
Ya tuhan, betapa aku merindukannya. Melihat tawa di matanya, omelannya, sentuhan tangannya saat mengacak rambutku. Sayang, aku tidak berhak lagi kini. Sejak kau mengambil helaan nafas dan binar matanya. Membiarkanku menangis seorang diri.
Kakakku sayang, tahukah kau. Sejak hari itu aku tidak bisa lagi menarikan tarian kita. Aku bahkan lupa caranya. Karena kamulah tarianku. Dan aku kesulitan menemukan tarian baru. Sepertinya semua terkubur bersamamu.
Aku selalu berharap mungkin esok atau lusa, Tuhan mengizinkanku menari lagi. Tarian baru. Tarian yang tak sama. Karena aku yakin kakakku sayang. Kau pasti tak berharap aku terus berduka. Merindukan tarian yang telah hilang. Seperti kata-katamu yang masih selalu kuingat, “Aku paling suka tertawamu. Karena tawamu bisa mengusir hujan, bahkan matahari pun tampak redup dibandingkan sinar di matamu.”
Kakakku tersayang, jangan khawatir! Tawaku masih secerah mentari. Meski air mataku juga sederas hujan. Tapi aku yakin jika Tuhan mengambil satu malaikat dariku, dia akan mengirimkan yang lainnya. Dan aku akan tetap menyimpanmu dalam benakku. Karena engkau adalah satu dari tarianku. Tarian yang kini hilang.
...... kak.. maafkan aku,, sejak kelas delapan.. aku telah menemukan malaikat baru.. yang sangat mirip denganmu,, aku kini bahagia bersamanya.. tapi kau kan selalu kukenang.. semoga kau tenang di alam sana, dan ikut tersenyum bersama senyumanku,, ......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar